Senin, 03 Februari 2014

My Notes: Pelajaran Dari Seorang Gadis Kecil

Ketika itu hari rabu. Tepat tanggalnya saya lupa. Yang pasti dan yang saya ingat saat itu saya sedang mendapat giliran memberikan pelayanan kesehatan di ruang poli KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di salah satu puskesmas di kota saya dalam rangka dinas praktek memenuhi salah satu SKS mata kuliah saya. Seperti pagi-pagi sebelumnya, selama 5 minggu dinas di puskesmas ini, begitu menginjakkan kaki di halaman puskesmas, saya selalu mengingat bahwa hari itu adalah hari apa, karena pembagian ruang dinas saya bersama 3 orang teman saya dilakukan berdasarkan urutan hari. Sadar bahwa hari itu adalah hari Rabu, hari dimana saya dapat giliran di KIA, maka saya langsung mengarahkan kaki menuju bangunan dimana poli KIA berada. Melewati pasien yang sedang duduk berbaris menanti dibukanya loket pendaftaran. Seulas  senyuman saya berikan pada mereka sambil sedikit berbasa-basi melontarkan pertanyaan retorik, “Nunggu pendaftaran dibuka ya Bu?”, yang di jawab dengan senyuman pula oleh mereka. Mereka datang memang terlalu pagi, dan saya tahu apa tujuan mereka datang sepagi ini, apalagi kalau bukan agar bisa daftar di urutan pertama. Loket pendaftaran yang berada di bangunan sebelahnya masih tertutup rapat. Hanya pintu utama gedung sebelah yang sudah terbuka. Bahkan pintu gedung yang ini juga masih tertutup, pertanda bahwa saya adalah orang pertama dihari itu yang memasuki bangunan ini. Benar saja, begitu saya masuk terlihat pintu ruang apotek, poli gigi, dan lab juga masih tertutup rapat. Dengan mengabaikan sunyi, saya  menaiki tangga menuju ruang Poli KIA yang berada di lantai atas. Menghela nafas, membuka pintu ruang KIA, menyimpan tas, membuka gorden dan jendela, menghidupkan kipas angin, sedikit bersih-bersih dan beres-beres, itulah ritual yang saya lakukan jika saya adalah orang yang pertama datang. Tak tahu apalagi yang harus saya lakukan, saya mengambil kursi dan duduk di depan jendela. Ternyata loket pendaftaran sudah dibuka, dari atas saya melihat kerumunan orang berebut mendaftar. Rupanya kebanyakan pasien untuk ruang poli umum. Belum tampak ibu hamil atau anak-anak yang berumur dibawah 5 tahun yang merupakan pasien untuk ruang KIA. Keasyikan saya memperhatikan kerumunan pasien dibawah sedikit terusik dengan kehadiran teman saya yang baru datang. Obrolan yang dibuka oleh teman saya rupanya mampu mengalihkan perhatian saya. Kami terus mengobrol sambil menanti pasien atau petugas ruang KIA datang. Sedang asyik ngobrol, sayup-sayup saya mendengar derap langkah kaki menaiki tangga disertai suara-suara khas anak kecil. “Ada pasien tuh” ujar teman saya, dan dari balik tangga muncul 3 orang anak kecil melangkah gembira. 2 orang anak laki-laki, yang pertama sekitar umur 6 tahunan, yang satunya lagi berumur 2 tahunan sedang digendong oleh seorang anak perempuan yang berumur kira-kira 10 tahunan. Si anak perempuan yang merupakan anak tertua ini menyodorkan status pasien kepada saya. “Siapa yang sakit?” saya bertanya (dalam bahasa daerah saya). “Adek kami, yuk” jawab si anak perempuan sambil menunjuk adiknya yang sedang ia gendong. “Lho, mana ibunya?” tanya saya heran. “Kerja yuk” jawabnya ringkas. Saya akui saat itu hati saya yang mungkin sedang beku belum memberi simpati pada anak-anak itu, hanya sebatas kasihan. Saya ingin mengajukan pertanyaan lagi, tapi dibelakang tampak 1-2 pasien berdatangan. Bergegas saya dan teman saya menimbang balita-balita yang sakit sembari meminta mereka untuk bersabar menunggu petugas KIA datang dan naik ke atas. Sambil menunggu saya memperhatikan si anak perempuan tadi yang sedang menunggu dan menjaga adiknya. Sampai akhirnya bunda-bunda yang merupakan bidan di ruang KIA tiba. “Pasien-pasiennya sudah ditimbang, Des?” tanya bunda. “Sudah bunda” berbarengan aku dan temanku menjawab. “Panggil lah pasiennya, Dara” ujar bunda lagi. Temanku memanggil 3 kakak beradik td, mereka langsung melangkah ringan layaknya anak kecil memasuki ruangan dan duduk untuk diperiksa. “Lho..lho..mana ibunya?” rupanya bunda heran seperti halnya saya tadi. “Kerja bu” kembali si tertua yang menjadi juru bicara. “Lha bapaknya?” bunda rupanya masih heran. “Pergi Bu, ke Jambi ke tempat istri mudanya” saya mulai menangkap raut sedih di wajah mereka ketika si sulung menjawab . “Iya bu, sudah lama, kini pergi ketempat istri mudanya, gak balik-balik lagi sampai sekarang”  si tengah berusaha membantu kakaknya untuk menjelaskan, namun langsung disergah oleh si sulung dengan sedikit emosi “Sudahlah, bapak kamu itu lari sama ibu tiri kamu. Gak usah dipikir lagi”. Terhenyak saya mendengar ucapan si sulung yang mengandung nada kebencian untuk bapaknya. Entah luka macam apa yang telah ditinggalkan si bapak untuk ia, adik dan ibunya sampai-sampai anak sekecil ini mampu berucap seperti itu. Si tengah hanya bisa terdiam. “Kalian masih sekolah?” bunda masih tertarik untuk mengajukan pertanyaan. “kami nggak lagi bu” si sulung menjawab. “Kenapa? Berhenti sekolah atau sudah tamat?” tanya bunda. “Saya berhenti sekolah Bu, tidak ada biaya untuk saya sekolah” si sulung menjawab pilu. “Lho, sekolah sekarang kan gratis. Kenapa berhenti? Sekolah lagi aja” ujar bunda yang tidak setuju dengan jawaban si sulung. “Gak Bu, saya ngasuh adek saya yang kecil ini. Kami 4 beradik” jawab si sulung memberi alasan. “Adik kamu kan bisa ikut ibu kamu kerja sementara kamu sekolah, sayang kalo kamu tidak sekolah” bunda tetap tidak setuju. Si sulung menggeleng lemah, “Biarlah adek-adek saya saja yang sekolah Bu, saya tidak usah. Biar saya saja bantu ibu, mereka yang sekolah”, ada nada pilu dalam jawaban si sulung. Sambil tetap memangku adiknya yang sakit, ia memalingkan muka mengarah keluar jendela. Saya yang duduk dalam jarak tidak sampai semeter dari gadis kecil ini bisa melihat genangan air mata di matanya yang berusaha ia sembunyikan. Kesunyian menyergap sejenak. Bunda yang tidak mampu lagi berkata-kata mulai memeriksa dada si adik yang sakit dengan menggunakan stetoskop. Saya masih terdiam dengan bermacam-macam pikiran. Simpati saya untuk gadis kecil ini menyerbu menyeruak keluar.
            Dan malam ini, sejam yang lalu sebelum saya mulai mengetik cerita ini, yang juga berminggu-minggu setelah kejadian itu, saya kembali teringat. Pelajaran manis dari gadis kecil nan kuat, yang harus rela menanggung beban yang tidak seharusnya ia tanggung. Kekuatan, pengorbanan, kasih sayang, dan mungkin juga keikhlasan telah ia hadapkan kepada saya. Sementara saya? Betapa beruntungnya saya bila dibandingkan dia. Tidak mampukah saya bertahan untuk tetap kuat karena semua permasalahan saya? Hey Dez, umurmu 21 tahun sekarang, dan anak kecil itu berapa kau pikir? Apa yang kau pikirkan ketika kau seumuran dia? Ya ya ya, ketika seumuran dia dulu, keluargamu memang sedang diterpa badai. Tapi bukankah kau masih merasakan kasih sayang lengkap dari kedua orang tua mu? Bahkan kau tak dibebankan apapun oleh mereka bukan? Dan sampai sekarang kau masih kuat bertahan. Sekarang, setelah belasan tahun berlalu, kenapa rasa kuat itu harus memudar? Umurmu sudah bertambah. Titik kedewasaan sudah saatnya dimulai. Belajarlah dari gadis kecil itu.  Ambil kekuatan,pengorbanan, kasih sayang dan keikhlasan yang dia tunjukkan. Tuhan yang menakdirkan kau bertemu dengannya. Dan itu bukan tanpa tujuan. Tuhan selalu mengajarkan dan menunjukkan, bahwa setiap sesuatu yang baik yang kau lakukan sekarang akan berbuah hal yang baik pula nantinya. Begitu pula sebaliknya. Hidupmu adalah hasil perbuatanmu. Tetap semangat. Dan tersenyum... :)

Bengkulu, 28 Juni 2011
22.30 wib

-dezzlidya-

*My old note taken from my facebook account*

1 komentar:

  1. ketika waktu buat bersua,ada rindu yg melanda.ketika ingat masa yg indah dulu buat senyumku merekah.sesuatu itu indah ketika telah berlalu,sesuatu itu yg dinamakan cinta ketika kita bersatu dlm suci ikatan illahi rabbi
    loly

    BalasHapus