Ketika itu hari rabu. Tepat
tanggalnya saya lupa. Yang pasti dan yang saya ingat saat itu saya
sedang mendapat giliran memberikan pelayanan kesehatan di ruang poli KIA
(Kesehatan Ibu dan Anak) di salah satu puskesmas di kota saya dalam
rangka dinas praktek memenuhi salah satu SKS mata kuliah saya. Seperti
pagi-pagi sebelumnya, selama 5 minggu dinas di puskesmas ini, begitu
menginjakkan kaki di halaman puskesmas, saya selalu mengingat bahwa hari
itu adalah hari apa, karena pembagian ruang dinas saya bersama 3 orang
teman saya dilakukan berdasarkan urutan hari. Sadar bahwa hari itu
adalah hari Rabu, hari dimana saya dapat giliran di KIA, maka saya
langsung mengarahkan kaki menuju bangunan dimana poli KIA berada.
Melewati pasien yang sedang duduk berbaris menanti dibukanya loket
pendaftaran. Seulas senyuman saya berikan pada mereka sambil sedikit
berbasa-basi melontarkan pertanyaan retorik, “Nunggu pendaftaran dibuka
ya Bu?”, yang di jawab dengan senyuman pula oleh mereka. Mereka datang
memang terlalu pagi, dan saya tahu apa tujuan mereka datang sepagi ini,
apalagi kalau bukan agar bisa daftar di urutan pertama. Loket
pendaftaran yang berada di bangunan sebelahnya masih tertutup rapat.
Hanya pintu utama gedung sebelah yang sudah terbuka. Bahkan pintu gedung
yang ini juga masih tertutup, pertanda bahwa saya adalah orang pertama
dihari itu yang memasuki bangunan ini. Benar saja, begitu saya masuk
terlihat pintu ruang apotek, poli gigi, dan lab juga masih tertutup
rapat. Dengan mengabaikan sunyi, saya menaiki tangga menuju ruang Poli
KIA yang berada di lantai atas. Menghela nafas, membuka pintu ruang KIA,
menyimpan tas, membuka gorden dan jendela, menghidupkan kipas angin,
sedikit bersih-bersih dan beres-beres, itulah ritual yang saya lakukan
jika saya adalah orang yang pertama datang. Tak tahu apalagi yang harus
saya lakukan, saya mengambil kursi dan duduk di depan jendela. Ternyata
loket pendaftaran sudah dibuka, dari atas saya melihat kerumunan orang
berebut mendaftar. Rupanya kebanyakan pasien untuk ruang poli umum.
Belum tampak ibu hamil atau anak-anak yang berumur dibawah 5 tahun yang
merupakan pasien untuk ruang KIA. Keasyikan saya memperhatikan kerumunan
pasien dibawah sedikit terusik dengan kehadiran teman saya yang baru
datang. Obrolan yang dibuka oleh teman saya rupanya mampu mengalihkan
perhatian saya. Kami terus mengobrol sambil menanti pasien atau petugas
ruang KIA datang. Sedang asyik ngobrol, sayup-sayup saya mendengar derap
langkah kaki menaiki tangga disertai suara-suara khas anak kecil. “Ada
pasien tuh” ujar teman saya, dan dari balik tangga muncul 3 orang anak
kecil melangkah gembira. 2 orang anak laki-laki, yang pertama sekitar
umur 6 tahunan, yang satunya lagi berumur 2 tahunan sedang digendong
oleh seorang anak perempuan yang berumur kira-kira 10 tahunan. Si anak
perempuan yang merupakan anak tertua ini menyodorkan status pasien
kepada saya. “Siapa yang sakit?” saya bertanya (dalam bahasa daerah
saya). “Adek kami, yuk” jawab si anak perempuan sambil menunjuk adiknya
yang sedang ia gendong. “Lho, mana ibunya?” tanya saya heran. “Kerja
yuk” jawabnya ringkas. Saya akui saat itu hati saya yang mungkin sedang
beku belum memberi simpati pada anak-anak itu, hanya sebatas kasihan.
Saya ingin mengajukan pertanyaan lagi, tapi dibelakang tampak 1-2 pasien
berdatangan. Bergegas saya dan teman saya menimbang balita-balita yang
sakit sembari meminta mereka untuk bersabar menunggu petugas KIA datang
dan naik ke atas. Sambil menunggu saya memperhatikan si anak perempuan
tadi yang sedang menunggu dan menjaga adiknya. Sampai akhirnya
bunda-bunda yang merupakan bidan di ruang KIA tiba. “Pasien-pasiennya
sudah ditimbang, Des?” tanya bunda. “Sudah bunda” berbarengan aku dan
temanku menjawab. “Panggil lah pasiennya, Dara” ujar bunda lagi. Temanku
memanggil 3 kakak beradik td, mereka langsung melangkah ringan layaknya
anak kecil memasuki ruangan dan duduk untuk diperiksa. “Lho..lho..mana
ibunya?” rupanya bunda heran seperti halnya saya tadi. “Kerja bu”
kembali si tertua yang menjadi juru bicara. “Lha bapaknya?” bunda
rupanya masih heran. “Pergi Bu, ke Jambi ke tempat istri mudanya” saya
mulai menangkap raut sedih di wajah mereka ketika si sulung menjawab .
“Iya bu, sudah lama, kini pergi ketempat istri mudanya, gak balik-balik
lagi sampai sekarang” si tengah berusaha membantu kakaknya untuk
menjelaskan, namun langsung disergah oleh si sulung dengan sedikit emosi
“Sudahlah, bapak kamu itu lari sama ibu tiri kamu. Gak usah dipikir
lagi”. Terhenyak saya mendengar ucapan si sulung yang mengandung nada
kebencian untuk bapaknya. Entah luka macam apa yang telah ditinggalkan
si bapak untuk ia, adik dan ibunya sampai-sampai anak sekecil ini mampu
berucap seperti itu. Si tengah hanya bisa terdiam. “Kalian masih
sekolah?” bunda masih tertarik untuk mengajukan pertanyaan. “kami nggak
lagi bu” si sulung menjawab. “Kenapa? Berhenti sekolah atau sudah
tamat?” tanya bunda. “Saya berhenti sekolah Bu, tidak ada biaya untuk
saya sekolah” si sulung menjawab pilu. “Lho, sekolah sekarang kan
gratis. Kenapa berhenti? Sekolah lagi aja” ujar bunda yang tidak setuju
dengan jawaban si sulung. “Gak Bu, saya ngasuh adek saya yang kecil ini.
Kami 4 beradik” jawab si sulung memberi alasan. “Adik kamu kan bisa
ikut ibu kamu kerja sementara kamu sekolah, sayang kalo kamu tidak
sekolah” bunda tetap tidak setuju. Si sulung menggeleng lemah, “Biarlah
adek-adek saya saja yang sekolah Bu, saya tidak usah. Biar saya saja
bantu ibu, mereka yang sekolah”, ada nada pilu dalam jawaban si sulung.
Sambil tetap memangku adiknya yang sakit, ia memalingkan muka mengarah
keluar jendela. Saya yang duduk dalam jarak tidak sampai semeter dari
gadis kecil ini bisa melihat genangan air mata di matanya yang berusaha
ia sembunyikan. Kesunyian menyergap sejenak. Bunda yang tidak mampu lagi
berkata-kata mulai memeriksa dada si adik yang sakit dengan menggunakan
stetoskop. Saya masih terdiam dengan bermacam-macam pikiran. Simpati
saya untuk gadis kecil ini menyerbu menyeruak keluar.
Dan malam ini, sejam yang lalu sebelum saya mulai mengetik cerita ini, yang juga berminggu-minggu setelah kejadian itu, saya kembali teringat. Pelajaran manis dari gadis kecil nan kuat, yang harus rela menanggung beban yang tidak seharusnya ia tanggung. Kekuatan, pengorbanan, kasih sayang, dan mungkin juga keikhlasan telah ia hadapkan kepada saya. Sementara saya? Betapa beruntungnya saya bila dibandingkan dia. Tidak mampukah saya bertahan untuk tetap kuat karena semua permasalahan saya? Hey Dez, umurmu 21 tahun sekarang, dan anak kecil itu berapa kau pikir? Apa yang kau pikirkan ketika kau seumuran dia? Ya ya ya, ketika seumuran dia dulu, keluargamu memang sedang diterpa badai. Tapi bukankah kau masih merasakan kasih sayang lengkap dari kedua orang tua mu? Bahkan kau tak dibebankan apapun oleh mereka bukan? Dan sampai sekarang kau masih kuat bertahan. Sekarang, setelah belasan tahun berlalu, kenapa rasa kuat itu harus memudar? Umurmu sudah bertambah. Titik kedewasaan sudah saatnya dimulai. Belajarlah dari gadis kecil itu. Ambil kekuatan,pengorbanan, kasih sayang dan keikhlasan yang dia tunjukkan. Tuhan yang menakdirkan kau bertemu dengannya. Dan itu bukan tanpa tujuan. Tuhan selalu mengajarkan dan menunjukkan, bahwa setiap sesuatu yang baik yang kau lakukan sekarang akan berbuah hal yang baik pula nantinya. Begitu pula sebaliknya. Hidupmu adalah hasil perbuatanmu. Tetap semangat. Dan tersenyum... :)
Bengkulu, 28 Juni 2011
22.30 wib
-dezzlidya-
*My old note taken from my facebook account*
Dan malam ini, sejam yang lalu sebelum saya mulai mengetik cerita ini, yang juga berminggu-minggu setelah kejadian itu, saya kembali teringat. Pelajaran manis dari gadis kecil nan kuat, yang harus rela menanggung beban yang tidak seharusnya ia tanggung. Kekuatan, pengorbanan, kasih sayang, dan mungkin juga keikhlasan telah ia hadapkan kepada saya. Sementara saya? Betapa beruntungnya saya bila dibandingkan dia. Tidak mampukah saya bertahan untuk tetap kuat karena semua permasalahan saya? Hey Dez, umurmu 21 tahun sekarang, dan anak kecil itu berapa kau pikir? Apa yang kau pikirkan ketika kau seumuran dia? Ya ya ya, ketika seumuran dia dulu, keluargamu memang sedang diterpa badai. Tapi bukankah kau masih merasakan kasih sayang lengkap dari kedua orang tua mu? Bahkan kau tak dibebankan apapun oleh mereka bukan? Dan sampai sekarang kau masih kuat bertahan. Sekarang, setelah belasan tahun berlalu, kenapa rasa kuat itu harus memudar? Umurmu sudah bertambah. Titik kedewasaan sudah saatnya dimulai. Belajarlah dari gadis kecil itu. Ambil kekuatan,pengorbanan, kasih sayang dan keikhlasan yang dia tunjukkan. Tuhan yang menakdirkan kau bertemu dengannya. Dan itu bukan tanpa tujuan. Tuhan selalu mengajarkan dan menunjukkan, bahwa setiap sesuatu yang baik yang kau lakukan sekarang akan berbuah hal yang baik pula nantinya. Begitu pula sebaliknya. Hidupmu adalah hasil perbuatanmu. Tetap semangat. Dan tersenyum... :)
Bengkulu, 28 Juni 2011
22.30 wib
-dezzlidya-
*My old note taken from my facebook account*
ketika waktu buat bersua,ada rindu yg melanda.ketika ingat masa yg indah dulu buat senyumku merekah.sesuatu itu indah ketika telah berlalu,sesuatu itu yg dinamakan cinta ketika kita bersatu dlm suci ikatan illahi rabbi
BalasHapusloly